Jumat, 11 September 2009

Sejarah KSFL di Bumi PAPUA

Pengantar Tulisan ini disusun dalam rangka mengenang 50 tahun Kongregasi dari Bennebroek hadir di Papua. Kongregasi Bennebroek merintis pelayanan kasih dengan berani mengutus 6 ( enam) Suster sebagai pionir ke Papua tahun 1959. Kongregasi di Indonesia berusaha melestarikan apa yang sudah dimulai Suster dari Bennebroek dengan mengutus 4 ( empat) suster gelombang pertama ke Papua tahun 1982. Selama 50 tahun KSFL hadir di Papua, usaha dan kerjakeras para Suster, pastilah terukir indah di hati banyak orang di Papua. Hal itu dapat dialami karena sampai sekarang masyarakat di Papua tetap merindukan kehadiran para suster KSFL Kehadiran Kongregasi di Papua merupakan suatu peristiwa sejarah sekaligus peziarahan rohani yang bagus dikenang dan layak disyukuri sekaligus menjadi bahan refleksi khusus bagi KSFL demi perkembangan karya pelayanan khususnya di Papua kini dan ke masa depan. Dalam rangka peringatan itulah, Pimpinan Umum Kongregasi Suster Fransiskan Santa Lusia ( KSFL) Sr. Anna Simamora KSFL menganjurkan agar kami menulis sedikit tentang perkembangan kehadiran KSFL di Papua. Maka dengan segala keterbatasan, tulisan singkat ini bertutur tentang kehadiran Kongregasi Bennebroek hadir secara khusus di Papua. Kami sungguh berharap mudah-mudahan dengan tulisan yang amat sederhana ini para suster yang pernah hadir dan berkarya di Papua mengenang dan bersyukur atas kesempatanan itu, dan bagi mereka yang saat ini hadir di Papua semoga tidak jemu-jemunya mewartakan kabar baik bagi saudara di Papua. Dan bagi mereka yang akan mendapat kesempatan hadir atau tidak akan pernah melayani masyarakat di Papua, sesuai dengan motto KSFL, semuanya untuk semua, dan spiritualitas Pendiri, dengan tangan terbuka, mari kita dukung, kita doakan semoga KSFL semakin jaya dan kehadirannya semakian sungguh dirasakan dan dialami umat dan masyarakat di Papua.

Sejak 1930 Biara pusat di Misi berada di Bukittinggi.

Karya yang mereka tangani pada awalnya adalah bidang pendidikan formal dan non formal al kursus steno, hitung dagang, kemudian sesuai dengan kebutuhan masyarakat berkembang juga ke arah kesehatan dengan membuka Rumah bersalin. Tentu saja pelayanan pastoral mendasari semuanya.

Kendati penduduk Bukittinggi mayoritas Muslim tetapi jumlah siswa terus bertambah. Anak-anak pegawai non kristen juga masuk sekolah katolik.

Sungguh menarik bahwa jumlah anak yang dipermandikan juga semakin bertambah, kendati bukan penduduk asli melainkan anak-anak pendatang seperti Indo Belanda, Tionghoa, Jawa, Sumatera Utara dsb.

Karya pelayanan Kongregasi di Sumatera Barat sungguh menjawab kebutuhan masyarakat, namun di sisi lain, pertambahan umat khusus dari kalangan penduduk asli sangat sedikit, apalagi calon masuk biara selama Kongregasi hadir di Sumatera Barat hanya beberapa orang saja dari suku Tionghoa.

Dalam proses yang cukup lama akhirnya tahun 1954 Novisiat diarahkan ke Sumatera Utara.

Dalam perjalanan sejarah 01 Mei 1969 rumah suster, sekolah, klinik bersalin dan poliklinik diserahkan kepada OSF Semarang.

3.3. Payakumbuh.

Pastor Remigius van Hoof, Pastor di Payakumbuh memohon agar di Payakumbuh juga ada suster tinggal, mulai hari senin sampai hari sabtu, karena belum bisa mendirikan rumah suster.[1] Pastor mengharapkan bahwa Suster mengajar di sekolah, karena tenaga pengajar yang ada hanya guru-guru yang beragama islam dan Pastor sendiri.juga masuk tenaga pengajar di sekolah.

Permohonan Pastor untuk tinggal di Payakumbuh beberapa hari tidak disetujuai Muder Carolin (Pemimpin Umum) dengan alasan bahwa hidup persaudaraan adalah dasar hidup untuk berkarya.

Untuk mengatasi masalah ini maka stasi membeli satu mobil khusus membawa Suster setiap hari dari Bukittinggi ke Payakumbh.

P. Remigius van Hoof merencanakan mendirikan sekolah lebih dahulu yang dipakai juga sebagai gereja, sesudah itu barulah rumah suster dan akhirnya membangun gereja.

Langkah ini ditempuh dengan maksud, bila terus-menerus mengetuk pintu Biara Pusat Bennebroek, dan dengan keyakinan bahwa barang siapa percaya dan berharap akan Badan Pimpinan Umum di Bennebroek tidak akan dikecewakan.

Harapan Pastor akhirnya terpenuhi. Bulan November 1930 Pimpinan Kongregasi dan pastor Paroki sepakat mendirikan rumah suster di Payakumbuh. Rumah itu diberkati oleh Mgr. Mathian Brans OFM Cap Juni 1932 dan diberi nama “ Biara Hati Kudus Dengan itu dibuka resmi komunitas baru di Payakumbuh.”.

Karya yang ditangani adalah pendidikan. Sebab itu Muder Karolina mulai mencari Suster yang pertama untuk TK


[1] Polman, Franciscaanse Zielenijver, Bennebroek 1947 hlm 154

Mengingat bahwa sumber-sumber yang ada pada kami sangat terbatas, maka apa yang dituturkan dalam tulisan berikut ini sungguh amat terbatas dan sudah pasti kurang memuaskan khusus bagi mereka yang ingin mengetahui tentang gerak langkah KSFL di Papua. Kendati demikian, kami berharap bahwa dengan tulisan yang amat sederhana dan singkat ini, semoga dapat membantu dan mengajak para pembaca untuk ikut serta bersyukur bersama Kongregasi Suster Fransiskan Santa Lusia baik di Negeri Belanda maupun di Indonesia atas iringan Tuhan dalam peziarahahn KSFL di Papua kini genap 50 tahun.

50 tahun

KONGREGASI SUSTER FRANSISKAN

SANTA LUSIA (KSFL)

HADIR DI PAPUA

18 Agustus 1959-18 Agustus 2009

1. Asal usul Kong

regasi Suster Fransiskan Santa Lusia

Kongregasi Suster Fransiskan Santa Lusia berasal dari Kongregasi Ordo III Regular St. Fransiskus di Breda yaitu Biara Mater Dei.

Kongregasi ini tumbuh dan berke

mbang, sehingga dalam waktu relatif singkat Kongregasi Induk di Breda melahirkan beberapa Kongregasi baru, salah satu diantaranya adalah Kongregasi Suster Fransiskan di Rotterdam atau Kongregasi dari Santa Lusia berdiri resmi 15 Oktober 1847.[1]

Pusatnya di Rotterdam.

Pendiri Kongregasi ini adalah Muder Lucia Dierxk ( Anna Cornelia Dierxk.).

Karena berbagai alasan yang mendasar antara lain rumah di Induk di Rotterdam kurang memadai lagi akibat anggota bertambah, maka sejak 01 Agustus 1919 Novisiat pindah ke Bennebroek dan 01 Mei 1920 Pusat Biara di Rotterdam juga pindah dan ke Bennebroek, sejak itu disebut Kongregasi Bennebroek atau Kongregasi Santa Lusia. [1]( dan sejak 2007 Bennebroek diserahkan ke instansi lain, para Suster dari Bennebroek pindah ke Alverna.)

2. Peran Pimpinan Gereja di Misi

Pimpinan Gereja memegang peran penting dalam memulai karya misi di Indonesia, karena merekalah yang melihat, menghadapi situasi konkrit terutama kebutuhan umat di wilayah./ keuskupan mereka.

Oleh sebab itu Pimpinan Gereja di daerah misi berusaha agar pelayanan pastoral di wilayahnya terpenuhi, maka Para Uskup mengundang Kongregasi baik biarawan maupun biarawati hadir di Keuskupan masing-masing di Indonesia.

Nampaknya para Uskup di Misi berbakat untuk merayu Pimpinan Kongregasi agar bersedia mengutus susternya berkarya dalam Vikariatnya, hanya cara mereka berbeda-beda.

Mgr.Mathias Brans OFM Cap di Medan (1924) lebih dahulu membicarakan situasinya secara langsung kepada Pimpinan di Negeri Belanda.

Mgr. Kusters di Banjarmasin Kalimantan (1942) memohon tenaga Suster dengan perantaraan Instansi Katolik di Jakarta.

Sedangkan Mgr.Manfred R.J. Staverman di Irian Jaya (1958) mengundang Pimpinan Kongregasi datang ke Irian ke Irian dengan berkata:

MARILAH ……… dan

………. LIHATLAH…………

Betapa dibutuhkan tenaga dan kehadiran Suster Bennebroek di Papua.[2]

Undangan ke-tiga Bapa Uskup tersebut sungguh menggugah hati Pimpinan Bennebroek dan serius memikirkan.


Kharisma pengosongan diri mendorong Suster Bennebroek terbuka akan kebutuhan Gereja khususnya di daerah misi.

Syukurlah, dengan demikian pada gilirannya semua mendapat tanggapan yang positif dari Kongregasi Bennebroek.

3. Hadir di Indonesia bagian barat.

3.1 Sawahlunto.

Kongregasi Bennebroek hadir di Sumatera Barat sejak 03 Oktober 1925 adalah atas permohonan Mgr. Kluts OFM Cap.

Komunitas pert

ama adalah Komunitas Santa Lusia di Sawahlunto Keuskupan Padang Sumatera Barat.

Bidang pelayanan para suster di Sawahlunto awalnya adalah pendidikan Hollands Chinese School (H.C.S).[1]

gbr ini diCopy dari Franciscaanse Zielenijver, Bennebroek 1947 hlm 152.

Rumah ini dibangun 1920, sampai sekarang masih ada dan ditempati satu keluarga muda untuk menjaga dan memelihara agar tidak diambil oleh Pemerintah.

Melihat situasi di wilayah Sawahlunto, bahwa perkembangan umat sangat lambat karena penduduk mayoritas Muslim dan pengembangan karya juga sangat terbatas, maka setelah dipertimbangkan dengan baik, semakin jelas bahwa Sawahlunto kurang mendukung menjadi pusat misi di Indonesia.

Pada Kunjungan yang pertama Pimpinan Umum dari Bennebroek yang diwakili oleh Muder Imeldina situasi ini dibicarakan, baik dengan Bapa Uskup, Pastor Paroki, dengan para suster di Sawahlunto juga di Bennebroek, akhirnya disepakati bahwa pusat misi Kongregasi Bennebroek di Indonesia saat itu jauh lebih cocok di Bukittinggi.

3.2. Bukittinggi

Dengan persetujuan Bapa Uskup Kluts, maka Pimpinan Kongregasi memutuskan bahwa Bukittinggi menjadi pusat misi Bennebroek di Indonesia. Hal ini didukung oleh beberapa hal antara lain: wilayahnya lebih luas, hawanya sejuk. strategis, Penduduknya banyak Orang Eropa dan Tionghoa, kemungkinan membuka karya pelayanan lebih terbuka, pusat perdagangan.

Pastor Lambertus Woestenberg OFM Cap Pastor Paroki sangat mendukung rencana ini. Sebagai langkah pertama bahwa gereja dan pastoran di Bukittinggi dibongkar, dan tanahnya diserahkan kepada Kongregasi.

Proses pembangunan dimulai dengan peletakan batu pertama. tanggal 04 Oktober 1929. Pembangunan berjalan lancar maka Biara St. Fransiskus di Bukittinggi selesai dan diberkati tanggal 04 Oktober 1930 oleh Mgr. Mathias Brans OFM Cap [1]

Susteran Hati Kudus Payakumbuh

Rumah ini sampai sekarang masih ada dan ditempati OSF Semarang

Suatu hal yang patut disyukuri bahwa jumlah suster dari Bennebroek di Sumatera Barat tahun 1932 ada 22 orang maka melihat perkembangan ini, Juni 1932 Muder Nikasia Hoogenboom diangkat menjadi Pemimpin Misi yang pertama di Indonesia.

Pada tahun ini juga Mgr. Mathias Brans OFM Cap menjadi Vikaris Apostolik Padang dan menerima tahbisan uskup.

.

Para Suster Bennebroek menghidupi Spiritualitas hidup sederhana dan rendah hati, membuat mereka hidup bersaudara dengan penduduk asli khususnya yang non kristen. Memang pada awalnya membutuhkan penyesuaian tetapi akhirnya mereka bisa bekerjasama, baik di sekolah, Rumah bersalin juga dalam hal lain.

Sekolah yang ditangani para Suster pada tiga stasi: Bukittinggi, Sawahlunto dan Payakumbuh cukup berkembang

4. Hidup sebagai tawanan 1942-1945

Dalam peziarahan Suster dari Bennebroek, mereka tidak lepas dari tantangan. Mereka juga mengalami masuk keluar Kamp (internir) akibat perang pecah di Eropa dan Indonesia. Para Suster siap masuk keluar kamp. Mereka terancam dalam pengadaan pangan dan penginapan. Hubungan persaudaraan dengan Biara Bennebroek untuk sementara terhambat. Dalam segala penderitaan dan kesulitan itu mereka juga mengalami kebaikan dan perlindungan Tuhan. Para Suster selalu mendapat apa yang dibutuhkan bahkan informasi penting dari siapa saja (muslim) agar mereka siap menghadapi situasi dan mereka selamat.

Semuanya mereka hadapi dengan tabah, kendati mereka sadar bahwa “kematian badan” akan dihadapi. Benarlah bahwa empat dari antara mereka dibebaskan dari penderitaan dunia, mereka diberi kebahagiaan kekal dengan Sang Pencipta.

Dengan situasi yang sulit itu, beberapa suster terpaksa kembali ke Nederland baik karena kesehatan terganggu juga karena alasan lain.

Sejak 22 Desember 1946-1949 semua suster Bennebroek meninggalkan Vikariat Sumatera, tetapi karya misi Kongregasi tidak berhenti, sebab kelompok terakhir terdiri dari 10 Suster berangkat menuju Belawan ternyata mendarat di Tanjungperiuk. Dengan truk mereka dibawa ke Susteran Ursulin di Noordwijk, tetapi karena tempat tidak mencukupi mereka pindah ke Biara Ursulin di Jln Pos.

Mereka memang benar peziarah, keesokan harinya mereka pindah lagi ke sebuah rumah besar di Jln. Kramat Raya No 67 yang disediakan Mgr. Willekens untuk Suster, Frater dan Pastor yang bersama dengan mereka tiba di Tanjungperiok.

Para Suster mengharapkan bisa cepat kembali ke Sumatera atau bekerja di tempat lain

Sesuai Motto Kongregasi “ Semuanya untuk semua” para Suster selalu terbuka memberikan yang terbaik bagi yang lain. Oleh karena itu mereka bekerja keras menolong orang Eropa, Ambon dan Manado yang ditampung dalam rumah Vinsensius milik Pastor Fransiskan di Kramat Raya Jakarta.

Mgr Kuster Prefek Apostolik Banjarmasin mendengar bahwa ada Suster di Jln. Kramat Raya, maka dengan segera Mgr. memohon agar para Suster Bennebroek bersedia hadir di Banjarmasin. Hal ini terjadi karena semua Suster dari Dongen kembali ke Negeri Belanda akibat situasi di Indonesia yang kurang aman. Permohonan ini mereka sambut dengan senang hati, dengan syarat harus ada izin dari Muder Nikasia sebagai Pemimpin Misi dan dari Pemimpin Umum di Bennebroek juga dari Mgr. Brans di Medan. Dalam waktu dekat semua persetujuan yang diharapkan diterima dengan baik..

Dengan demikian para Suster Bennebroek berangkat ke Banjarmasin Kalimantan. Mereka terjun dalam bidang pendidikan juga pastoral.

Karya mereka sungguh berhasil di Banjarmasin. tetapi mereka sadar bahwa berkarya di Banjarmasin hanya sementara saja. Sumatera senantiasa menantikan kehadiran mereka.

Syukurlah bahwa 1948 Mgr Brans melihat bahwa Suster-suster Bennebroek ada kemungkinan untuk kembali ke Medan dan dari Medan kembali ke Bukittinggi.

Para Suster Bennebroek kembali ke Sumatera, mereka mulai membuka stasi di Medan, Jln Wilhelmina No 16 ( sekarang Jln. Sutomo). Tahun 1948 mereka juga secara bertahab kembali ke Bukittinggi, memulai lagi semuanya yang sudah ditinggalkan sejak 1946.

Maka 16 Juli 1949 para Suster meninggalkan Banjarmasin dan perpisahaan ini dirasa berat bagi kedua belah pihak.

5. Menuju Sumatera Utara.

Lintongnihuta.

Melihat situasi Sumatera Barat dimana penduduknya mayoritas Muslim maka perkembangan Gereja nampaknya agak lambat, juga kemungkinan untuk menerima calon-calon biarawati sulit, dan dengan berbagai pertimbangan lain maka sejak 27 Mei 1954 pusat Biara di Indonesia dipindahkan dari Bukittinggi ke Lintongnihuta Sumatera Utara [1]

Sampai tahun 1986, Lintongnihuta dinilai cocok sebagai pusat misi di Indonesia, namun melihat situasi Lintongnihuta yang cukup terpencil, kurang mendukung untuk pembinaan calon, bahkan sebagai pusat biarapun nampaknya kurang mendukung maka perlu dipertimbangkan.

Akhirnya setelah diadakan pembicaraan dalam Kongregasi juga dengan Bapa Uskup Agung Medan Mgr. AG P Datubara OFM Cap akhirnya disepakati, bahwa Novisiat dan pusat Kongregasi dipindahkan ke Pematangsiantar.

Tepatnya 12 Maret 1983 gedung Novisiat diberkati dan sejak itu Novis tinggal di Pematangsiantar. Tiga tahun kemudian 03 Januari 1986 Pusat Kongregasi Suster Fransiskan Santa Lusia (KSFL) pindah ke Pematangsiantar.[2]

Melihat situasi di Negeri Belanda yang tidak ada lagi calon yang masuk, dan anggota kebanyakan masuk usia senja dan di Indonesia masih dalam perkembangan maka dengan berbagai alasan baik di Nederland maupun di Indonesia akhirnya disepakati Regio Indonesia menjadi Kongergasi yang mandiri.

Setelah diproses sesuai dengan prosedur, dalam waktu dekat datang keputusan dari Roma bahwa Kongregasi Suster Fransiskan Santa Lusia resmi menjadi Kongregasi Mandiri 21 Februari 1995, berpusat di Pematangsiantar Sumatera Utara.[1]

Kini Pematangsiantar sebagai Pusat biara KSFL berusaha melanjutkan, melestarikan apa yang sudah dirintis suster pendahulu dari Bennebroek dengan mengutus anggotanya berenang di arus zaman globalisasi, termasuk wilayah Papua yang indah dan mempesonakan .

Bahkan sejak 2004 KSFL juga hadir di keuskupan Agung Merauke[2].

6. Visi Misi

Kongregasi Suster Fransiskan Bennebroek dan KSFL di Indonesia menghayati surat St. Paulus “ Bagi semua orang aku telah menjadi segala-galanya.”

(I Kor 9:22). Hal ini sesuai dengan Motto Kongregasi “ Alles voor Allen”

“Semuanya untuk semua” dan visi “ tangan terbuka” dan misi “menghadirkan dan mengembangkan Kerajaan Allah dengan mengangkat harkat dan martabat manusia, KSFL berusaha mewujudkannya melalui karya formal dan karya sosial karitatif lainnya.

Dalam menghayati kharisma KSFL “ pengosongon diri” bdk Filp 2: 5-11, Kongregasi terbuka akan keprihatinan Gereja. Oleh karena itu berdasarkan kharismanya, Kongregasi berusaha ikut serta mengembangkan Kerajaan Allah melalui pelayanannya dimana saja, kapan saja dan dalam bentuk apapun.

Khazanah rohani yang diwariskan Muder Lusia Dierckx : ‘tidak kenal lelah, selalu dengan tangan terbuka untuk semua orang yang kita jumpai” mendorong dan menyemangati Kongregasi Bennebroek memperluas pelayanannya di Bumi Nusantara bagian timur.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar anda semoga menjadi berkat