Jumat, 11 September 2009

Sejarah KSFL di Bumi PAPUA

Pengantar Tulisan ini disusun dalam rangka mengenang 50 tahun Kongregasi dari Bennebroek hadir di Papua. Kongregasi Bennebroek merintis pelayanan kasih dengan berani mengutus 6 ( enam) Suster sebagai pionir ke Papua tahun 1959. Kongregasi di Indonesia berusaha melestarikan apa yang sudah dimulai Suster dari Bennebroek dengan mengutus 4 ( empat) suster gelombang pertama ke Papua tahun 1982. Selama 50 tahun KSFL hadir di Papua, usaha dan kerjakeras para Suster, pastilah terukir indah di hati banyak orang di Papua. Hal itu dapat dialami karena sampai sekarang masyarakat di Papua tetap merindukan kehadiran para suster KSFL Kehadiran Kongregasi di Papua merupakan suatu peristiwa sejarah sekaligus peziarahan rohani yang bagus dikenang dan layak disyukuri sekaligus menjadi bahan refleksi khusus bagi KSFL demi perkembangan karya pelayanan khususnya di Papua kini dan ke masa depan. Dalam rangka peringatan itulah, Pimpinan Umum Kongregasi Suster Fransiskan Santa Lusia ( KSFL) Sr. Anna Simamora KSFL menganjurkan agar kami menulis sedikit tentang perkembangan kehadiran KSFL di Papua. Maka dengan segala keterbatasan, tulisan singkat ini bertutur tentang kehadiran Kongregasi Bennebroek hadir secara khusus di Papua. Kami sungguh berharap mudah-mudahan dengan tulisan yang amat sederhana ini para suster yang pernah hadir dan berkarya di Papua mengenang dan bersyukur atas kesempatanan itu, dan bagi mereka yang saat ini hadir di Papua semoga tidak jemu-jemunya mewartakan kabar baik bagi saudara di Papua. Dan bagi mereka yang akan mendapat kesempatan hadir atau tidak akan pernah melayani masyarakat di Papua, sesuai dengan motto KSFL, semuanya untuk semua, dan spiritualitas Pendiri, dengan tangan terbuka, mari kita dukung, kita doakan semoga KSFL semakin jaya dan kehadirannya semakian sungguh dirasakan dan dialami umat dan masyarakat di Papua.

Sejak 1930 Biara pusat di Misi berada di Bukittinggi.

Karya yang mereka tangani pada awalnya adalah bidang pendidikan formal dan non formal al kursus steno, hitung dagang, kemudian sesuai dengan kebutuhan masyarakat berkembang juga ke arah kesehatan dengan membuka Rumah bersalin. Tentu saja pelayanan pastoral mendasari semuanya.

Kendati penduduk Bukittinggi mayoritas Muslim tetapi jumlah siswa terus bertambah. Anak-anak pegawai non kristen juga masuk sekolah katolik.

Sungguh menarik bahwa jumlah anak yang dipermandikan juga semakin bertambah, kendati bukan penduduk asli melainkan anak-anak pendatang seperti Indo Belanda, Tionghoa, Jawa, Sumatera Utara dsb.

Karya pelayanan Kongregasi di Sumatera Barat sungguh menjawab kebutuhan masyarakat, namun di sisi lain, pertambahan umat khusus dari kalangan penduduk asli sangat sedikit, apalagi calon masuk biara selama Kongregasi hadir di Sumatera Barat hanya beberapa orang saja dari suku Tionghoa.

Dalam proses yang cukup lama akhirnya tahun 1954 Novisiat diarahkan ke Sumatera Utara.

Dalam perjalanan sejarah 01 Mei 1969 rumah suster, sekolah, klinik bersalin dan poliklinik diserahkan kepada OSF Semarang.

3.3. Payakumbuh.

Pastor Remigius van Hoof, Pastor di Payakumbuh memohon agar di Payakumbuh juga ada suster tinggal, mulai hari senin sampai hari sabtu, karena belum bisa mendirikan rumah suster.[1] Pastor mengharapkan bahwa Suster mengajar di sekolah, karena tenaga pengajar yang ada hanya guru-guru yang beragama islam dan Pastor sendiri.juga masuk tenaga pengajar di sekolah.

Permohonan Pastor untuk tinggal di Payakumbuh beberapa hari tidak disetujuai Muder Carolin (Pemimpin Umum) dengan alasan bahwa hidup persaudaraan adalah dasar hidup untuk berkarya.

Untuk mengatasi masalah ini maka stasi membeli satu mobil khusus membawa Suster setiap hari dari Bukittinggi ke Payakumbh.

P. Remigius van Hoof merencanakan mendirikan sekolah lebih dahulu yang dipakai juga sebagai gereja, sesudah itu barulah rumah suster dan akhirnya membangun gereja.

Langkah ini ditempuh dengan maksud, bila terus-menerus mengetuk pintu Biara Pusat Bennebroek, dan dengan keyakinan bahwa barang siapa percaya dan berharap akan Badan Pimpinan Umum di Bennebroek tidak akan dikecewakan.

Harapan Pastor akhirnya terpenuhi. Bulan November 1930 Pimpinan Kongregasi dan pastor Paroki sepakat mendirikan rumah suster di Payakumbuh. Rumah itu diberkati oleh Mgr. Mathian Brans OFM Cap Juni 1932 dan diberi nama “ Biara Hati Kudus Dengan itu dibuka resmi komunitas baru di Payakumbuh.”.

Karya yang ditangani adalah pendidikan. Sebab itu Muder Karolina mulai mencari Suster yang pertama untuk TK


[1] Polman, Franciscaanse Zielenijver, Bennebroek 1947 hlm 154

Mengingat bahwa sumber-sumber yang ada pada kami sangat terbatas, maka apa yang dituturkan dalam tulisan berikut ini sungguh amat terbatas dan sudah pasti kurang memuaskan khusus bagi mereka yang ingin mengetahui tentang gerak langkah KSFL di Papua. Kendati demikian, kami berharap bahwa dengan tulisan yang amat sederhana dan singkat ini, semoga dapat membantu dan mengajak para pembaca untuk ikut serta bersyukur bersama Kongregasi Suster Fransiskan Santa Lusia baik di Negeri Belanda maupun di Indonesia atas iringan Tuhan dalam peziarahahn KSFL di Papua kini genap 50 tahun.

50 tahun

KONGREGASI SUSTER FRANSISKAN

SANTA LUSIA (KSFL)

HADIR DI PAPUA

18 Agustus 1959-18 Agustus 2009

1. Asal usul Kong

regasi Suster Fransiskan Santa Lusia

Kongregasi Suster Fransiskan Santa Lusia berasal dari Kongregasi Ordo III Regular St. Fransiskus di Breda yaitu Biara Mater Dei.

Kongregasi ini tumbuh dan berke

mbang, sehingga dalam waktu relatif singkat Kongregasi Induk di Breda melahirkan beberapa Kongregasi baru, salah satu diantaranya adalah Kongregasi Suster Fransiskan di Rotterdam atau Kongregasi dari Santa Lusia berdiri resmi 15 Oktober 1847.[1]

Pusatnya di Rotterdam.

Pendiri Kongregasi ini adalah Muder Lucia Dierxk ( Anna Cornelia Dierxk.).

Karena berbagai alasan yang mendasar antara lain rumah di Induk di Rotterdam kurang memadai lagi akibat anggota bertambah, maka sejak 01 Agustus 1919 Novisiat pindah ke Bennebroek dan 01 Mei 1920 Pusat Biara di Rotterdam juga pindah dan ke Bennebroek, sejak itu disebut Kongregasi Bennebroek atau Kongregasi Santa Lusia. [1]( dan sejak 2007 Bennebroek diserahkan ke instansi lain, para Suster dari Bennebroek pindah ke Alverna.)

2. Peran Pimpinan Gereja di Misi

Pimpinan Gereja memegang peran penting dalam memulai karya misi di Indonesia, karena merekalah yang melihat, menghadapi situasi konkrit terutama kebutuhan umat di wilayah./ keuskupan mereka.

Oleh sebab itu Pimpinan Gereja di daerah misi berusaha agar pelayanan pastoral di wilayahnya terpenuhi, maka Para Uskup mengundang Kongregasi baik biarawan maupun biarawati hadir di Keuskupan masing-masing di Indonesia.

Nampaknya para Uskup di Misi berbakat untuk merayu Pimpinan Kongregasi agar bersedia mengutus susternya berkarya dalam Vikariatnya, hanya cara mereka berbeda-beda.

Mgr.Mathias Brans OFM Cap di Medan (1924) lebih dahulu membicarakan situasinya secara langsung kepada Pimpinan di Negeri Belanda.

Mgr. Kusters di Banjarmasin Kalimantan (1942) memohon tenaga Suster dengan perantaraan Instansi Katolik di Jakarta.

Sedangkan Mgr.Manfred R.J. Staverman di Irian Jaya (1958) mengundang Pimpinan Kongregasi datang ke Irian ke Irian dengan berkata:

MARILAH ……… dan

………. LIHATLAH…………

Betapa dibutuhkan tenaga dan kehadiran Suster Bennebroek di Papua.[2]

Undangan ke-tiga Bapa Uskup tersebut sungguh menggugah hati Pimpinan Bennebroek dan serius memikirkan.


Kharisma pengosongan diri mendorong Suster Bennebroek terbuka akan kebutuhan Gereja khususnya di daerah misi.

Syukurlah, dengan demikian pada gilirannya semua mendapat tanggapan yang positif dari Kongregasi Bennebroek.

3. Hadir di Indonesia bagian barat.

3.1 Sawahlunto.

Kongregasi Bennebroek hadir di Sumatera Barat sejak 03 Oktober 1925 adalah atas permohonan Mgr. Kluts OFM Cap.

Komunitas pert

ama adalah Komunitas Santa Lusia di Sawahlunto Keuskupan Padang Sumatera Barat.

Bidang pelayanan para suster di Sawahlunto awalnya adalah pendidikan Hollands Chinese School (H.C.S).[1]

gbr ini diCopy dari Franciscaanse Zielenijver, Bennebroek 1947 hlm 152.

Rumah ini dibangun 1920, sampai sekarang masih ada dan ditempati satu keluarga muda untuk menjaga dan memelihara agar tidak diambil oleh Pemerintah.

Melihat situasi di wilayah Sawahlunto, bahwa perkembangan umat sangat lambat karena penduduk mayoritas Muslim dan pengembangan karya juga sangat terbatas, maka setelah dipertimbangkan dengan baik, semakin jelas bahwa Sawahlunto kurang mendukung menjadi pusat misi di Indonesia.

Pada Kunjungan yang pertama Pimpinan Umum dari Bennebroek yang diwakili oleh Muder Imeldina situasi ini dibicarakan, baik dengan Bapa Uskup, Pastor Paroki, dengan para suster di Sawahlunto juga di Bennebroek, akhirnya disepakati bahwa pusat misi Kongregasi Bennebroek di Indonesia saat itu jauh lebih cocok di Bukittinggi.

3.2. Bukittinggi

Dengan persetujuan Bapa Uskup Kluts, maka Pimpinan Kongregasi memutuskan bahwa Bukittinggi menjadi pusat misi Bennebroek di Indonesia. Hal ini didukung oleh beberapa hal antara lain: wilayahnya lebih luas, hawanya sejuk. strategis, Penduduknya banyak Orang Eropa dan Tionghoa, kemungkinan membuka karya pelayanan lebih terbuka, pusat perdagangan.

Pastor Lambertus Woestenberg OFM Cap Pastor Paroki sangat mendukung rencana ini. Sebagai langkah pertama bahwa gereja dan pastoran di Bukittinggi dibongkar, dan tanahnya diserahkan kepada Kongregasi.

Proses pembangunan dimulai dengan peletakan batu pertama. tanggal 04 Oktober 1929. Pembangunan berjalan lancar maka Biara St. Fransiskus di Bukittinggi selesai dan diberkati tanggal 04 Oktober 1930 oleh Mgr. Mathias Brans OFM Cap [1]

Susteran Hati Kudus Payakumbuh

Rumah ini sampai sekarang masih ada dan ditempati OSF Semarang

Suatu hal yang patut disyukuri bahwa jumlah suster dari Bennebroek di Sumatera Barat tahun 1932 ada 22 orang maka melihat perkembangan ini, Juni 1932 Muder Nikasia Hoogenboom diangkat menjadi Pemimpin Misi yang pertama di Indonesia.

Pada tahun ini juga Mgr. Mathias Brans OFM Cap menjadi Vikaris Apostolik Padang dan menerima tahbisan uskup.

.

Para Suster Bennebroek menghidupi Spiritualitas hidup sederhana dan rendah hati, membuat mereka hidup bersaudara dengan penduduk asli khususnya yang non kristen. Memang pada awalnya membutuhkan penyesuaian tetapi akhirnya mereka bisa bekerjasama, baik di sekolah, Rumah bersalin juga dalam hal lain.

Sekolah yang ditangani para Suster pada tiga stasi: Bukittinggi, Sawahlunto dan Payakumbuh cukup berkembang

4. Hidup sebagai tawanan 1942-1945

Dalam peziarahan Suster dari Bennebroek, mereka tidak lepas dari tantangan. Mereka juga mengalami masuk keluar Kamp (internir) akibat perang pecah di Eropa dan Indonesia. Para Suster siap masuk keluar kamp. Mereka terancam dalam pengadaan pangan dan penginapan. Hubungan persaudaraan dengan Biara Bennebroek untuk sementara terhambat. Dalam segala penderitaan dan kesulitan itu mereka juga mengalami kebaikan dan perlindungan Tuhan. Para Suster selalu mendapat apa yang dibutuhkan bahkan informasi penting dari siapa saja (muslim) agar mereka siap menghadapi situasi dan mereka selamat.

Semuanya mereka hadapi dengan tabah, kendati mereka sadar bahwa “kematian badan” akan dihadapi. Benarlah bahwa empat dari antara mereka dibebaskan dari penderitaan dunia, mereka diberi kebahagiaan kekal dengan Sang Pencipta.

Dengan situasi yang sulit itu, beberapa suster terpaksa kembali ke Nederland baik karena kesehatan terganggu juga karena alasan lain.

Sejak 22 Desember 1946-1949 semua suster Bennebroek meninggalkan Vikariat Sumatera, tetapi karya misi Kongregasi tidak berhenti, sebab kelompok terakhir terdiri dari 10 Suster berangkat menuju Belawan ternyata mendarat di Tanjungperiuk. Dengan truk mereka dibawa ke Susteran Ursulin di Noordwijk, tetapi karena tempat tidak mencukupi mereka pindah ke Biara Ursulin di Jln Pos.

Mereka memang benar peziarah, keesokan harinya mereka pindah lagi ke sebuah rumah besar di Jln. Kramat Raya No 67 yang disediakan Mgr. Willekens untuk Suster, Frater dan Pastor yang bersama dengan mereka tiba di Tanjungperiok.

Para Suster mengharapkan bisa cepat kembali ke Sumatera atau bekerja di tempat lain

Sesuai Motto Kongregasi “ Semuanya untuk semua” para Suster selalu terbuka memberikan yang terbaik bagi yang lain. Oleh karena itu mereka bekerja keras menolong orang Eropa, Ambon dan Manado yang ditampung dalam rumah Vinsensius milik Pastor Fransiskan di Kramat Raya Jakarta.

Mgr Kuster Prefek Apostolik Banjarmasin mendengar bahwa ada Suster di Jln. Kramat Raya, maka dengan segera Mgr. memohon agar para Suster Bennebroek bersedia hadir di Banjarmasin. Hal ini terjadi karena semua Suster dari Dongen kembali ke Negeri Belanda akibat situasi di Indonesia yang kurang aman. Permohonan ini mereka sambut dengan senang hati, dengan syarat harus ada izin dari Muder Nikasia sebagai Pemimpin Misi dan dari Pemimpin Umum di Bennebroek juga dari Mgr. Brans di Medan. Dalam waktu dekat semua persetujuan yang diharapkan diterima dengan baik..

Dengan demikian para Suster Bennebroek berangkat ke Banjarmasin Kalimantan. Mereka terjun dalam bidang pendidikan juga pastoral.

Karya mereka sungguh berhasil di Banjarmasin. tetapi mereka sadar bahwa berkarya di Banjarmasin hanya sementara saja. Sumatera senantiasa menantikan kehadiran mereka.

Syukurlah bahwa 1948 Mgr Brans melihat bahwa Suster-suster Bennebroek ada kemungkinan untuk kembali ke Medan dan dari Medan kembali ke Bukittinggi.

Para Suster Bennebroek kembali ke Sumatera, mereka mulai membuka stasi di Medan, Jln Wilhelmina No 16 ( sekarang Jln. Sutomo). Tahun 1948 mereka juga secara bertahab kembali ke Bukittinggi, memulai lagi semuanya yang sudah ditinggalkan sejak 1946.

Maka 16 Juli 1949 para Suster meninggalkan Banjarmasin dan perpisahaan ini dirasa berat bagi kedua belah pihak.

5. Menuju Sumatera Utara.

Lintongnihuta.

Melihat situasi Sumatera Barat dimana penduduknya mayoritas Muslim maka perkembangan Gereja nampaknya agak lambat, juga kemungkinan untuk menerima calon-calon biarawati sulit, dan dengan berbagai pertimbangan lain maka sejak 27 Mei 1954 pusat Biara di Indonesia dipindahkan dari Bukittinggi ke Lintongnihuta Sumatera Utara [1]

Sampai tahun 1986, Lintongnihuta dinilai cocok sebagai pusat misi di Indonesia, namun melihat situasi Lintongnihuta yang cukup terpencil, kurang mendukung untuk pembinaan calon, bahkan sebagai pusat biarapun nampaknya kurang mendukung maka perlu dipertimbangkan.

Akhirnya setelah diadakan pembicaraan dalam Kongregasi juga dengan Bapa Uskup Agung Medan Mgr. AG P Datubara OFM Cap akhirnya disepakati, bahwa Novisiat dan pusat Kongregasi dipindahkan ke Pematangsiantar.

Tepatnya 12 Maret 1983 gedung Novisiat diberkati dan sejak itu Novis tinggal di Pematangsiantar. Tiga tahun kemudian 03 Januari 1986 Pusat Kongregasi Suster Fransiskan Santa Lusia (KSFL) pindah ke Pematangsiantar.[2]

Melihat situasi di Negeri Belanda yang tidak ada lagi calon yang masuk, dan anggota kebanyakan masuk usia senja dan di Indonesia masih dalam perkembangan maka dengan berbagai alasan baik di Nederland maupun di Indonesia akhirnya disepakati Regio Indonesia menjadi Kongergasi yang mandiri.

Setelah diproses sesuai dengan prosedur, dalam waktu dekat datang keputusan dari Roma bahwa Kongregasi Suster Fransiskan Santa Lusia resmi menjadi Kongregasi Mandiri 21 Februari 1995, berpusat di Pematangsiantar Sumatera Utara.[1]

Kini Pematangsiantar sebagai Pusat biara KSFL berusaha melanjutkan, melestarikan apa yang sudah dirintis suster pendahulu dari Bennebroek dengan mengutus anggotanya berenang di arus zaman globalisasi, termasuk wilayah Papua yang indah dan mempesonakan .

Bahkan sejak 2004 KSFL juga hadir di keuskupan Agung Merauke[2].

6. Visi Misi

Kongregasi Suster Fransiskan Bennebroek dan KSFL di Indonesia menghayati surat St. Paulus “ Bagi semua orang aku telah menjadi segala-galanya.”

(I Kor 9:22). Hal ini sesuai dengan Motto Kongregasi “ Alles voor Allen”

“Semuanya untuk semua” dan visi “ tangan terbuka” dan misi “menghadirkan dan mengembangkan Kerajaan Allah dengan mengangkat harkat dan martabat manusia, KSFL berusaha mewujudkannya melalui karya formal dan karya sosial karitatif lainnya.

Dalam menghayati kharisma KSFL “ pengosongon diri” bdk Filp 2: 5-11, Kongregasi terbuka akan keprihatinan Gereja. Oleh karena itu berdasarkan kharismanya, Kongregasi berusaha ikut serta mengembangkan Kerajaan Allah melalui pelayanannya dimana saja, kapan saja dan dalam bentuk apapun.

Khazanah rohani yang diwariskan Muder Lusia Dierckx : ‘tidak kenal lelah, selalu dengan tangan terbuka untuk semua orang yang kita jumpai” mendorong dan menyemangati Kongregasi Bennebroek memperluas pelayanannya di Bumi Nusantara bagian timur.



Sabtu, 15 Agustus 2009

Senin, 27 Juli 2009

Jangan menyerah kalah!

Bila segala sesuatu terasa salah, Bila jalan yang kau lalui terasa menanjak, Bila pendapatan begitu rendah dan utang makin bertambah Kau tersenyum tabah, tetapi terpaksa merenung lelah. Bila kau merasa tak merasa kasih sayang, Jika perlu beristirahatlah.. Namun jangan mengalah!

Senin, 22 Juni 2009

Tahun Imam (19 juni 2009 s/d 19 juni 2010)

Yang terkasih Para Imam, Tahun Imam, yang telah diumumkan oleh Paus Benediktus XVI adalah untuk merayakan peringatan 150 tahun kematian Pastor yang saleh dari Ars, St.Yohanes Maria Vianney, telah semakin dekat. Perayaan pembukaan Tahun Imam ini akan diselenggarakan dan dipimpin oleh Bapa Suci pada 19 Juni yang akan datang, bertepatan dengan Pesta Hati Kudus Yesus dan Hari Doa Sedunia demi Kesucian Hidup Para Imam. Pengumuman Tahun Imam ini telah mendapat sambutan yang hangat, khususnya dari para Imam sendiri. Setiap Imam ingin menjalani hidup mereka dengan penuh komitmen, ketulusan dan semangat sehingga tahun itu pantas dirayakan di seluruh dunia - di Keuskupan, paroki-paroki dan setiap komunitas lokal - di mana semua umat Katolik dapat berpartisipasi dengan penuh kegembiraan. Umat sangat mencintai para imamnya dan ingin melihat mereka bahagia, hidup suci dan penuh kegembiraan dalam karya pelayanan mereka setiap hari. Tahun khusus bagi para Imam ini amat penting dan bermanfaat karena ini menjadi kesempatan di mana Gereja berbicara kepada para Imam, secara khusus, dan juga kepada semua umat beriman serta masyarakat luas melalui media masa bahwa Gereja berbangga dengan para Imamnya, mencintai mereka, menghormati mereka, mengagumi cara hidup mereka dan bahwa Gereja mengakui dengan penuh syukur karya pastoral dan kesaksian hidup para Imamnya. Sungguh, para Imam memiliki arti penting bukan hanya karena apa yang mereka kerjakan tetapi juga karena keberadaan mereka. Dengan perasan sedih harus diakui bahwa pada masa ini beberapa Imam terlibat dalam kasus-kasus yang tidak sepantasnya. Adalah penting untuk melakukan penyelidikan terhadap kasus-kasus semacam itu, melakukan proses hukum dan memberikan hukuman yang sesuai dengan kesalahan mereka. Akan tetapi, haruslah tetap diingat bahwa kasus-kasus ini terjadi pada segelintir kecil saja dari para Imam. Sebagian besar para Imam adalah orang-orang yang memiliki integritas pribadi, yang mengabdikan hidup mereka pada pelayanan suci, manusia pendoa dan semangat kasih pastoral, yang mencurahkan seluruh diri mereka untuk menjalani tugas panggilan dan misi mereka, sering kali dengan penuh pengorbanan diri, tetapi selalu atas dasar cinta sejati kepada Yesus Kristus, Gereja dan umat, dalam solidaritas dengan orang miskin dan menderita. Dengan alasan itulah, Gereja merasa bangga dengan para Imamnya di mana pun mereka berada.

Semoga Tahun Imam ini merupakan kesempatan untuk memberikan penghargaan yang mendalam terhadap panggilan hidup imamat, teologi imamat Katolik, dan terhadap arti penting panggilan dan misi para imam dalam Gereja dan masyarakat. Penghargaan ini akan menuntut banyak waktu untuk melakukan kajian dan studi, rekoleksi, latihan-latihan spiritual yang merefleksikan tentang keimamam, konferensi dan seminar-seminar teologis di fakultas-fakultas gerejani, riset ilmiah serta publikasinya. Bapa Suci, yang mengumumkan Tahun Imam ini dalam sambutannya pada 16 Maret 2009, di hadapan Kongregasi Klerus selama Sidang Umum, mengatakan bahwa tahun khusus ini dimaksudkan untuk "mendorong para imam dalam menggapai kesempurnaan rohani, sebagai landasaran keberhasilan pelayanan mereka." Dengan alasan inilah, perlu diadakan waktu khusus selama setahun untuk berdoa yang dilakukan oleh para imam sendiri, bersama para imam dan bagi para Imam, waktu setahun untuk pembaruan spiritualitas keimaman dan spiritualitas setiap Imam. Perayaan Ekaristi, dalam perspektif ini, merupakan jantung dari spiritualitas keimaman. Adorasi Ekaristi demi kesucian hidup para Imam dan keibuan rohani para biarawati, hidup bakti dan wanita awam kepada para Imam, seperti sudah diusulkan beberapa waktu yang lalu oleh Kongregasi Klerus, dapat dikembangkan lebih lanjut dan akan menghasilkan buah kekudusan. Semoga pada tahun ini, keadaan nyata dan kebutuhan material para imam diperhatikan , karena para Imam, kadang-kadang,hidup dalam situasi yang sangat miskin dan sulit. Semoga perayaan Tahun Imam ini, menjadi kesempatan bagi para biarawan-biarawati dan masyarakat umum,mengajakumat - komunitas Katolik lokal - untuk berdoa, merenungkan, dan secara sepantasnya menghormati para imamnya.. Dalam komunitas gerejani, suatu perayaan merupakan peristiwa yang sangat menyentuh hati yang mengungkapkan dan memberikan kegembiraan Kristiani, suatu kegembiraan yang lahir dari keyakinan bahwa Allah mencintai kita dan merayakan bersama kita. Semoga tahun ini menjadi kesempatan untuk mengembangkan persekutuan dan persaudaraan di antara para Imam dan umat yang dipercayakan kepada penggembalaan mereka.

Banyak hal dan prakarsa lain dapat dilakukan untuk memperkaya perayaan Tahun Imam ini, tetapi di sini diharapkan bahwa Gereja-gereja lokal melakukannya dengan cara-cara yang menarik dan khas menurut cara mereka sendiri. Karena itu, sejak awal diharapkan bahwa setiap Keuskupan dan paroki serta komunitas lokal menyiapkan suatu rencana kerja yang efektif untuk perayaan tahun khusus ini. Jelas, sangatlah penting untuk memulai Tahun ini dengan satu kegiatan yang menghargai para Imam.Gereja-gereja lokal diajak pada 19 Juni nanti, pada hari yang sama ketika Bapa Suci membuka perayaan Tahun Imam di Roma, untuk turut serta juga mengawali Tahun khusus ini, dengan perayaan liturgi khusus. Semoga juga ada orang yang bisa datang ke Roma untuk mengikuti perayaan pembukaan Tahun khusus ini, untuk menyatakan partisipasi mereka dalam peristiwa yang berbahagia ini. Allah senantiasa memberkati upaya ini dengan cinta yang besar; dan Santa Perawan Maria, Ratu Para Imam, berdoa buat Saudara sekalian, Para Imam yang terkasih. Claudio Cardinal HummesUskup Agung Emeritus Sao PaoloPrefek Kongregasi Klerus

(diambil dari http://www.mirifica.net/

Doa Bagi Para Imam:

Pujian dan syukur kami haturkan atas karunia yang engkau berikan pada umat lewat kehadiran para imam yang telah Kau panggil dan Kau pilih khusus untuk menjadi gembala kami. Kami mohon lindungilah mereka semua dari segala marabahaya jabatannya yang kudus, bila ada yang mengalami pergulatan dipersimpangan jalan bantu mereka untuk mengambil keputusan yang terbaik bagi dirinya namun tidak menjauh dariMu, bila suatu saat ada yang pergi meninggalkanMu jangan tinggalkan mereka namun senantiasa Engkau berkati agar memperoleh kekuatan dalam menjalani hidup yang baru karena mereka adalah tetap anakMu. Bantulah keluarga mereka dalam perjuangan hidup sehari-hari agar hal itu tidak menambah pergulatan baru.

Bunda Maria, mereka adalah milikmu, maka mohonkan lah pengudusan bagi mereka agar layak menjadi milikmu, mohonkan senantiasa berkat khusus agar tetap kuat dan setia. Karena mereka juga masih manusia biasa.

Salam Maria...

Bapa Kami...

Kemuliaan ...

Amin.

Sabtu, 02 Mei 2009

Renungan 1

*BELAS KASIH ALLAH*

(Yohanes 8: 1-11)

Pada suatu hari seorang Missionaris yang tinggal di salah satu pulau di Pasifik, heran melihat seorang wanita masuk rumahnya dengan menggenggam pasir yang masih basah, lalu ia bertanya : “Apakah Engkau tahu ini?”sambil menunjukkan genggaman pasir itu. “Kelihatanya seperti pasir’ jawab Missionaris itu. Apakah engkau tahu mengapa saya membawanya kemari? Wanita itu bertanya lagi, Saya tidak tahu maksud anda, jawab Pastor itu. “Baiklah ini adalah dosa-dosaku, perempuan itu meneranngkan, dosa-dosaku banyak sekali tak terhitung seperti pasir di lautan, bagai mana mungkin saya mendapat pengampunan?

Anda mendapat pasir ini di tepi pantai, bukankah begitu? Kata missionaris. Baiklah kembalikan genggaman pasir itu dan buatlah gundukan dengan pasir itu, kemudian duduklah dan perhatikanlah, lalu ombak datang menyapu gundukan pasir itu. Pelan-pelan tapi pasti gundukan pasir itu merata dan lenyap, itulah karya pengampunan Tuhan. BelaskasihNya seluas samudera, bertobatlah sungguh-sungguh dan Tuhan akan mengampuni (sumber dari buku: Toserba Surgawi)

Perikop injil Yohanes 8 : 1-11 (injil hari senin, 30-03-09) berkisah tentang seorang perempuan yang berzinah yang hendak dihukum rajam oleh orang-orang yang merasa tidak berdosa, sunggguh jelas bagi kita bahwa Belas Kasih Allah kepada manusia pendosa sunggguh besar, agar semua selamat. Yesus tidak menghakimi Perempuan yang berzinah itu. Yesus hanya tunduk dan menulis-nulis di tanah dan berkata kepada orang banyak siapa yang tidak berdosa di antara kamu, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepadanya. Yesus menulis ditanah…. suatu tulisan di tanah akan gampang terhapus baik oleh hembusan angin, siraman air hujan ataupun oleh hal-hal lain. Ini adalah pralambang bagi dosa-dosa kita yang akan diampuni Allah Bapa, jika kita sungguh-sunggguh bertobat dan tidak berbuat dosa lagi.

Betapa sering kita merasa diri hebat jika mengetahui, menemukan apalagi boleh berhasil membuka aib orang lain untuk dipermalukan, kita tahu bahwa orang itu harus dihukum, diadili sesuai aturan main yang pantas menurut kita.

‘Ingat !! :

· Saat diriku (kita) dipermalukan,…….. betapa berat, sakit, hina,… tapi….Tuhan tidak ikut mempermalukan dan menghukummu.

· Saat aku mempermalukan, merendahkan saudara/sesama ………. Sementara Tuhan tidak menghukum atau mempermalukan dia, ….. jawablah!!! : MEMANGNYA SIAPAKAH AKU INI???

Teladan Yesus

Luk 23:34a Yesus berkata: “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” Eph 4:32 Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu. Ketika kita berbuat salah terhadap seseorang, biasanya apa yang harus kita lakukan? Seperti biasa tentunya kita harus meminta maaf. Tetapi bagaimana jika ada seseorang yang menyakiti perasaan kita tetapi dia tidak meminta maaf, maka apa yang harus kita lakukan? Jika kita memberi maaf tanpa harus menunggu dan menuntut permintaan maaf darinya, Itu baru luar biasa! Itulah yang dilakukan oleh Tuhan kita (bdk Luk 23:34a) ketika Dia menderita di salib. Di situ dijelaskan bahwa Tuhan Yesus sudah terlebih dahulu mengampuni khususnya kepada orang-orang yang menyalibkan dia. Sikap proaktif Yesus inilah yang seharusnya kita teladani juga di dalam kehidupan kita sehari-sehari ketika seseorang berbuat salah terhadap kita. Dalam Efesus 4:32 juga dikatakan alasan mengapa kita harus mengampuni yaitu bahwa Tuhan terlebih dahulu telah mengampuni kita oleh karena itu kita juga harus saling mengampuni dengan yang lain. Janganlah ragu untuk meminta maaf karena kita pada dasarnya juga adalah manusia berdosa dengan cacat dan cela. Janganlah merasa rugi untuk memberi maaf karena Tuhan Yesus telah terlebih dahulu memaafkan kita.

Sungguh hidup ini begitu indahnya jika kita saling memaafkan satu dengan yang lain. Dan begitu leganya jika kita sudah bisa saling mengampuni antara satu dengan yang lain. Jangan keraskan hati, kita tidak akan rugi jika kita meminta maaf dan memaafkan seseorang. Percayalah, maaf bukan sekedar kata-kata tetapi jauh lebih itu dan mempunyai efek yang luar biasa.

Pengampunan ini mengikat kita bersama, dalam untung dan malang dan memungkinkan kita berkembang dalam saling kasih mengasihi. Pengampunan adalah jalan menuju kemerdekaan anak-anak Allah. Dan mengampuni orang lain adalah suatu pembebasan, kita membebaskan orang itu dari ikatan yang menjerat yang ada diantara kita. Kita juga membebaskan diri kita dari beban hidup sebagai orang yang dilukai hatinya. Tampaknya pengampunan itu mustahil, tetapi tidak ada yang mustahil bagi Allah, Allah yang bersemayam dalam batin kita akan mengaruniakan rahmat yang membuat kita mampu mengatasi diri kita yang terluka dan berani berkata: “Atas Nama Allah, engkau ku ampuni” semua ini bisa jika ada Belas Kasih Allah yang ada dalam diri kita dipupuk dan diasa.

Maka marilah dalam masa Prapaska ini yang sudah kita mulai dengan menerima abu yang ditandai didahi kita, kita ingat untuk bertobat terus menerus, juga sebagai tanda ketidakabadian dunia ini, semua ini dalam konteks pengampunan yang terus menerus yang terjadi tidak hanya karena masa prapaska melainkan masa hidup kita di duinia karena kita manusia lemah yang sadar tidak sadar akan terjatuh dalam kelemahan yang sama yang mengharuskan kita mau mengampuni, diampuni dan mohon ampun pada Tuhan Allah si Maha Pengampun, karena melalui ini nyata bahwa satu-satunya keselamatan ialah dari Tuhan Allah kita. Aroma PASKA sudah tercium mari kita raih dengan kemenangan bersama Kristus. Mari kita mulai lagi sebab kita belum berbuat apa-apa (st. Frans, Asisi) . Selamat Paska!!! (Sr. Isabella, KSFL)

Sabtu, 28 Februari 2009

Tentang Kami:

Kongregasi Suster Fransiskan Santa Lusia (KSFL) didirikan di Rotterdam 15 oktober 1847 oleh Moeder Lusia Diercxk kemudian pindah ke Bennebroek Negeri Belanda. Kongregasi ini berkarya dalam bidang sosial karitataf seperti panti asuhan, jompo dan orang miskin dalam berbagai hal, kemudian berkembang kearah pendidikan dan kesehatan sesuai dengan kebutuhan zaman. Kharisma KSFL bersumber dari teladan Yesus yang mengosongkan diri (bdk. Fil 2:5-11). Spiritualitas adalah Siap Sedia, Memberi Diri Dalam Semangat Sederhana, Rendah Hati, Gembira dan Bersaudara Dalam Pertobatan Terus-Menerus. Indonesia merindukan kehadiran suster Bennebroek. Sesuai dengan motto: ”Semuanya untuk semua”, Mereka siap berangkat demi Kerajaan Allah.Tanggal 3 Oktober 1925 Missionaris dari Bennebroek tiba di sawahlunto Sumatra Barat. Tidak lama kemudian mereka membuka komunitas di Bukittinggi dan payahkumbuh. Bukittinggi menjadi pusat di Indonesia. Karya yang ditangani adalah pendidikan dan kesehatan. Bekerja di tengah kaum muslim bukan penghalang mengembangkan Kerajaan Allah. Moeder Lusia membuka tangan bagi semua. Ini juga hidup dalam KSFL. Tanggal 27 mei 1954 pusat biara di Indonesia pindah dari Bukittinggi ke Lintongnihuta-Sumatera Utara (sekarang kabupaten Humbang Hasundutan). Dalam peziarahan KSFL selalu melihat yang terbaik. Dengan berbagai pertimbangan Novisiat(12 maret 1983) dan pusat biara (15 November 1985) pindah ke Jl. Kain Sutera No.8 Pematangsiantar Sumatera Utara. Kongregasi ini otonom/mandiri sejak 21 Februari 1995.
Moeder Lusia menghayati hidup dengan Motto : ”Terbuka tangan bagi semua”.
Ini juga hidup dalam batin KSFL hidup dan berkarya di desa-desa. Pedalaman Papua juga menantikan kehadiran KSFL dengan berbagai pelayanan kasih. Kini KSFL sudah hadir dan melayani di 6 keuskupan di Indonesia yakni: Keuskupan Agung Medan (Sumut) Keuskupan Sibolga (Sumut) Keuskupan Agung Jakarta Keuskupan Agung Semarang Keuskupan Jayapura Keuskupan Agung Merauke Ladang luas, tetapi pekerja sedikit. Mari mengabungkan diri, masuk KSFL ”Terbuka tangan bagi semua”. SYARAT- SYARAT MASUK KSFL
  1. Pemudi katolik(minimal 2 tahun dibaptis)
  2. Sehat Jasmani dan Rohani
  3. Minimal SLTA, usia maksimum 35 tahun
  4. Berniat akan hidup rohani
  5. Mampu hidup bersama dan gembira
  6. Bersedia menempuh jenjang pembinaan KSFL (Postulant, Novisiat, Yunior, dst)
Perlengkapan yang akan di penuhi untuk selanjutnya:
  1. Surat permandian yang terbaru, akte lahir
  2. Rekomendasi dari pastor paroki (bisa menyusul)
  3. STTB asli dan photocopy STTB yang sudah dilegalisir sebanyak 10 ex
Catatan : STTB : SD, SMP, SMA/SMK (boleh menyusul) Raport : SMA (SD dan SMP kalau masih ada) ALAMAT KSFL YANG DAPAT DI HUBUNGI :
  1. Biara pusat, Postulant dan Novisiat Jl. Kain sutera No.8 Pematangsiantar 21142-SUMUT Telp.(0622-25010), Fax.(0622)431594
  2. Susteran Santa Lusia Jl. Sudirman No.30 Pematangsiantar 21115-SUMUT Telp. 0622-22404
  3. Susteran Santa Lusia Medan ada 3 alamat yaitu : Desa sei Rotan Kec. Percut Sei tuan Telp 061-7380562; Laut Dendang Telp.061-7780332; dan Jl. Bromo No. 2 (pusat pasar) Medan 20212-SUMUT Telp 061-4153444
  4. Susteran Fatima Jl. Jend. Sudirman No. 269 Perdagangan 21184-SUMUT Telp. 0622-96135
  5. Susteran Gita Surya Jl. Hamka No. 42 Kisaran 21216
  6. Susteran Santa Lusia Jl. Sisingamangaraja No. 214 Siborongborong 22475 TAPUT-SUMUT Telp. 0633-41193
  7. Susteran Hati Kudus Jl. Tugu No. 19 Lintongnihuta Humbahas 22475 TAPUT-SUMUT Telp. 0633-41725
  8. Susteran Santo Yosef Jl.Merdeka No.47 Dolok Sanggul 22457 Telp. (0633) 31810 (Biara) dan (0633) 31068 (RB/BP)
  9. Susteran Alverna Sipea-pea 22563, Kec. Sorkam Tapanuli Tengah. Telp. (0631) 24889
  10. Susteran St. Lusia Jl. Raya Padangsidempuan, Pinangsori 22654 Tap-Teng. Telp. (0631) 391036
  11. Susteran St. Lusia Kompleks St. Elisabeth Jl. Simangambat, Sipirok Tapanuli Selatan Telp. (0634) 41346
  12. Susteran St. Lusia Komp. Gereja Katolik Bambu Pemali. Jl.Raya Mandala No.17 Bambu Pemali Merauke-Papua 99602 Telp. (0971) 325148
  13. Susteran St. Lusia Semangga II d/a Komp. Gereja Katolik Bambu Pemali Jl.Raya Mandala No.17 Bambu Pemali Merauke-Papua 99602 Telp. 081362106430
  14. Susteran St. Lusia (Rumah Studi) Jl. Cendani III/1, Papringan, Yogyakarta 55281. Telp. (0274) 562409